SEJARAH GORONTALO
Menurut sejarah,
jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah
satu kota tua di Sulawesi selain Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada
saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur,
yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut
Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah
sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai,
Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat
pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk
Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
Kedudukan Kota
Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga
sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun
1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi
Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa
Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di
pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan
yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis
yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka
pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat
pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling
Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli
dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa
penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur
menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung
dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga
(1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
- Pohala'a Gorontalo
- Pohala'a Limboto
- Pohala'a Suwawa
- Pohala'a Boalemo
- Pohala'a Atinggola
Dengan hukum adat itu,
maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat
di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara'
bersendikan Kitabullah". Pohala’a Gorontalo merupakan pohala’a yang paling
menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih
banyak dikenal. Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan
penjelasan antara lain :
- Berasal dari
"Hulontalangio", nama salah satu kerajaan yang dipersingkat
menjadi hulontalo
- Berasal dari "Hua
Lolontalango" yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu
lalang.
- Berasal dari
"Hulontalangi" yang artinya lebih mulia.
- Berasal dari "Hulua Lo
Tola" yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
- Berasal dari
"Pongolatalo" atau "Puhulatalo" yang artinya tempat
menunggu.
- Berasal dari Gunung Telu yang
artinya tiga buah gunung.
- Berasal dari "Hunto"
suatu tempat yang senantiasa digenangi air
Jadi asal usul nama
Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata
"hulondalo" hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo
dan orang Belanda karena kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan
Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo.
Pada tahun 1824 daerah
Limo Lo Pohala’a telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen
disamping pemerintahan tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan
dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah
"Rechtatreeks Bestur". Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam
struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling
yaitu :
- Onder Afdeling Kwandang
- Onder Afdeling Boalemo
- Onder Afdeling Gorontalo
Selanjutnya pada tahun
1920 berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
- Distrik Kwandang
- Distrik Bone
- Distrik Gorontalo
- Distrik Boalemo
Pada tahun 1922
Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :
- Afdeling Gorontalo
- Afdeling Boalemo
- Afdeling Buol
Sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia, rakyat Gorontalo dipelopori oleh Bpk H. Nani Wartabone
berjuang dan merdeka pada tanggal 23 Januari 1942. Selama kurang lebih dua
tahun yaitu sampai tahun 1944 wilayah Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan
sendiri. Perjuangan patriotik ini menjadi tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia
dan memberi imbas dan inspirasi bagi wilayah sekitar bahkan secara nasional.
Oleh karena itu Bpk H. Nani Wartabone dikukuhkan oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan
perintis kemerdekaan.
Pada dasarnya
masyarakat Gorontalo mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Indikatornya
dapat dibuktikan yaitu pada saat "Hari Kemerdekaan Gorontalo" yaitu
23 Januari 1942 dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia
Raya. Padahal saat itu Negara Indonesia sendiri masih merupakan mimpi kaum
nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan dan menjadi
bagian dari Indonesia.
Selain itu pada saat
pergolakan PRRI Permesta di Sulawesi Utara masyarakat wilayah Gorontalo dan
sekitarnya berjuang untuk tetap menyatu dengan Negara Republik Indonesia dengan
semboyan "Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja" sebagaimana pernah
didengungkan pertama kali oleh Ayuba Wartabone di Parlemen Indonesia Timur ketika
Gorontalo menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.
SISTEM PEMERINTAHAN
Pemerintahan di daerah
Gorontalo pada masa perkembangan kerajaankerajaan adalah bersifat monarki
konstitusional, yang pada awal mula pembentukan kerajaan-kerajaan tersebut
berakar pada kekuasaan rakyat yang menjelmakan diri dalam kekuasaan Linula,
yang sesungguhnya menurutkan azas demokrasi. Organisasi pemerintahan dalam
kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerjasama yang disebut
"Buatula Totolu", yaitu ;
- Buatula Bantayo; dikepalai oleh
Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar
tujuan kerajaan
- Buatula Bubato; dikepalai oleh
Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha
mensejahterakan masyarakat.
- Buatula Bala; yang pada mulanya
dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Olongia Lo Lipu (Maha
Raja Kerajaan) adalah kepala pemerintahan tertinggi dalam kerajaan tetapi tidak
berkuasa mutlak. Ia dipilih oleh Bantayo Poboide dan dapat dipecat atau di
mazulkan juga oleh Bantayo Poboide. Masa jabatannya tidak ditentukan,
tergantung dari penilaian Bantayo Poboide. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan
tertinggi dlm kerajaan berada dalam tangan Bantayo Poboide sebagai penjelmaan
dari pd kekuasaan rakyat.
Olongia sebagai
penguasa tertinggi dalam kerajaan, terdapat pula jabatan tinggi lainnya yaitu
"Patila" (Mangku Bumi) selanjutnya disebut Jogugu. Wulea Lo Lipu
(Marsaoleh) setingkat dengan camat. Disamping Olongia dan pembantu-pembantunya
sebagai pelaksana pemerintahan seharihari terdapat suatu Badan Musyawarah
Rakyat (Bantayo Poboide) yang diketuai oleh seorang Bate. Setiap kerajaan
mempunyai suatu Bantayo Poboide yang berarti bangsal tempat bermusyawarah. Di
dalam bangsal inilah diolah dan dirumuskan hal-hal sebagai berikut;
- Menetapkan adat dan hukum adat.
- Mendampingi serta mengawasi
pemerintah.
- Menggugat Raja.
- Memilih dan menobatkan Raja dan
pembesar-pembesar lainnya.
Bantayo Poboide dalam
menetapkan sesuatu, menganut musyawarah dan mufakat untuk menghendaki suatu kebulatan
suara dan bersama-sama bertanggung jawab atas setiap keputusan bersama.
Demikianlah gambaran singkat tentang sejarah dan pemerintahan pada
kerajaan-kerajaan di Daerah Gorontalo yang berlandaskan kekuasaan rakyat atau
demokrasi.
0 komentar:
Post a Comment